klikadekusmayadi.blog.com

Jumat, 19 Januari 2018

Kisah-Kisah Qur’ani Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Kisah-Kisah Qur’ani Dalam Perspektif Pendidikan Islam

On one hand, Koran is a guidelines and supreme direction for human in fighting over the word as well as preparing for the here after. There are three fundamental teachings in Koran, i.e. I’tiqadiyah (it deals with faith), Khuluqiyah (the virtue of the character) and amaliyah (it relates to what comes from words and deeds). On the other hand, Islam was descended upon Arabiah who were fettered by inner barreness, spiritual misery, intellectual upset and polytheistic worship (watsaniyah), also man castration. The teaching of heaven religion before Islam had been cut down. Yet the people of Kuffar Quraish held their new religion (Islam) pleasantly and very confidently step by step in a short time. It means that they made Koran as their guidelines in their lives. Even, they become the most prominent guard in preserving and extending Islam. Therefore if needs to examine what the method used by Koran to mold their personality being glorious, consistent in the truth way. Their soul were enlightened from the word of evil (syaithoniyah) to the word of Divine (Ilahiyah). One of the methods used by God to educate them is through Quranic Story.

Kata Kunci: Hakikat kisah Qur’ani; fungsi kisah; tujuan kisah, hikmah pengulangan kisah, Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah, Tarbiyah Fikriyah, dan Tarbiyah Khuluqiyah.

A.    Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai sumber utama bagi umat Islam dalam mengatur segala aspek kehidupannya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku baik menjalani kehidupan dunia maupun persiapan menuju akhirat. Karena di dalam Qur’an terdapat norma-norma dan isyarat untuk dapat dijadikan sebagai way of life (lentera kehidupan) dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Sewaktu Islam menghujamkan akarnya di persada tanah arab,  manusia pada waktu itu dibelenggu oleh kegersangan batin, kemusyrikan (watsaniyah) dan pengkebiran rasa kemanusiaan. Seolah-olah Tuhan telah mati. Akhlak dan budi pekerti amat bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Sepertinya ajaran-ajaran agama samawi yang dibawa oleh para rasul sebelum kerasulan Muhammad saw telah terbabat habis. Sebagai wujud dari kesesatan mereka, sewaktu awal kedatangan Islam, mareka berlomba-lomba untuk menentang ajaran baru (Islam) karena ia sangat bertentangan dengan kesewenang-wenangan, perbudakan dan kemusyrikan (watsaniyah) yang di warisi dari moyang mereka.

Namun oleh karena Islam yang mukjizatnya bersiafat aqliyah-ma’nawiyah  dan sesuai dengan fitrah (cinta kepada sesuatu yang agung melahirkan keberagamaan, cinta kesucian/keiklasan melahirkan estetika, cinta kebenaran melahirkan ilmu, dan cinta keindahan melahirkan seni), secara bertahap kuffar Quraish memeluk agama baru ini dengan senang hati dan penuh percaya diri. Bahkan karakter mereka menjadi terbalik yang dulu benci dan memerangi Islam sekarang  menjadi cinta dan garda terdepan dalam mempertahankan Islam dibumi Saudi Arabia. Untuk itulah perlu dicermati bagaimana metode-metode Tuhan dalam Qur’an untuk membetuk kepribadian mereka menjadi pribadi yang mulia yang konsisten di jalan kebenaran, dan  jiwa mereka tercerahkan kembali dari alam kedurjanaan (syaithoniyah) ke alam kebenaran (Ilahiyah). Salah satu metode-metode Qur’ani ialah mendidik mereka melalui kisah-kisah Qur’ani.

B.    Hakikat Kisah Qur’ani

Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat.  Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan (QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir.

Sedangkan menurut al-Majub, bahwa kisah al-Qur’an ialah segala jenis dan gayanya merupakan gambaran penjelmaan/pergumulan yang abadi antara nilai-nilai kebajikan yang ditegakkan dalam kepemimpinan para nabi untuk memperbaiki kebejatan yang dilancarkan tokoh-tokohnya.  Dari definisi tersebut paling tidak unsur-unsur yang terkandung dalam kisah Qur’an mencakup (1) keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dan bukan pula tujuan dalam kisah bahkan sang tokoh kadang-kadang tidak disebutkan, (2) kisah mengandung unsur waktu, latar belakang lahirnya kisah (3) mengandung tujuan penggambaran dari suatu keadaan terutama tujuan-tujuan keagamaan, dan (4) peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara bertahap atau pengulangan sesuai dengan kronologis peristiwa dan sesuai pula titik tekan tujuan dari kisah. Kisah Qur’ani merupakan gambaran realitas dan logis bukan kisah fiktif. Menurut Mahmud, kisah Qur’ani selalu memberi makna imajinatif, kesejukan, kehalusan budi, bahkan renungan dan pemikiran, kesadaran dan ‘ibrah (pengajaran). Kesadaran dan ‘ibrah ini sebagai wujud derajat takwa dan takwa sebagai wujud martabat yang paling mulia dalam ibadah.

C.    Fungsi dan macam-macam Kisah Qur’ani

Kisah Qur’an merupakan karya sastra yang agung, mempunyai tema-tema tertentu, tujuan-tujuan, materi, dan merefleksikan ajaran substansial agama. Kisah Qur’ani bukanlah karya sastra yang bebas, yang bertujuan cerita untuk cerita, seni untuk seni yang kadang-kadang kehilangan fungsi dan idealisme serta tujuan sehingga berimplikasi negatif bagi pendengar atau pembacanya. Sebagaimana jika seseorang membaca cerita novel yang membawa pembacanya ke dunia khayal, dan mimpi-mimpi indah yang bersifat negatif. Kisah Qur’ani berfungsi menggambarkan suatu peristiwa yang pada akhirnya kisah membawa implikasi makna posotif bagi pembaca atau pendengarnya baik makna itu menyentuh ruhani-imannya, intelektualnya, perasaannya ataupun prilaku perkataan, perbuatan dan sikap hidupnya yang pada akhirnya akan dijadikan way of life dalam hidupnya. Lebih rinci  Sayyid Qutub menggambarkan bahwa  kisah Qur’ani berfungsi sebagai lukisan tentang kedahsatan hari kiamat, kenikmatan surga, kesengsaraan neraka, dan juga berfungsi sebagai argumentasi untuk menghantarkan kepada keyakinan adanya kebangkitan, kekuasaan Allah, di samping sebagai penjelas syariat secara terperinci dan perumpamaan yang diungkapkan.  Fungsi-fungsi itu semakin terpatri pada diri pembaca atau pendengar jika ia betul-betul penuh konsentrasi menghayati episode-episode kisah. Karena dalam kisah Qur’ani mengandung berbagai  berbagai penalaran dan  pergulatan antara kebenaran dan kebejatan, kesedihan dan kegembiraan, tantangan dan kemantapan pribadi, kesabaran dan kemarahan, keluhuran dan kebirahian, kegentingan dan kemudahan, menjadikan pembaca atau pendengar dapat mengambil pelajaran dari kisah, apakah pengajaran berkaitan dengan pendidikan iman-ruhani, pendidikan intelektual dan pendidikan akhlak al-karimah serta pendidikan jasmani.

Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:

Pertama: Kisah Anbiya’ yakni kisah mengandang dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.

Kedua: Kissah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.

Ketiga: Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.

D.    Tujuan-tujuan Edukatif Kisah  Qur’ani

Kisah Qur’ani bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan, merupakan salah satu di antara sekian banyak metode Qur’ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan-ketuhanannya dan salah satu cara untuk menyampaikan dan mengokohkan dakwah Islamiyah.

Diantar tujuan kisah Qur’an ialah merealisasikan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan yang berkaitan dengan fungsi manusia hidup didunia baik sebagai Abdullah maupun sebagai Khalifatullah  karena Qur’an merupakan wahyu Allah yang menjadi kitab petunjuk dan pedoman bagi umat manusia. Melalui metode dan alur kisah, dakwah Islamiyah lebih mudah dicerna, menarik dan dapat menggugah hati pendengar atau pembacanya. Menurut Syatibi, kisah Qur’ani tidak dimaksudkan untuk menambal sejarah bangsa-bangsa atau tokoh-tokoh, akan tetapi kisah itu merupakan ‘ibrah bagi manusia.

Lebih jelasnya  Manna’ al-Qaththan menggambarkan tujuan  edukatif kisah Qur’ani ialah (1) menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawah oleh para Nabi (QS. Al-Anbiya:25), (2) meneguhkan hati rasulullah atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya, QS. Hud: 120), (3) membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya, (4) menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi, (5) menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti, (QS. Ali Imran:93), (6) kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.   “Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (QS. Yusuf:111). Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub  tujuan kisah Qur’ani ialah (1) untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis, (2) untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah swt   dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92), (3) untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang,  yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73), (4) untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan 62), untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19 dan an-Najm: 36 dan 37), (6) untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS. Al-Ankabut:14-16 dan 24), (7) untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50), (8) untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para nabi  dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69, Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2 tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75, Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40 tentang Maryam, (9) sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap godaan-godoaan setan dan  manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia, (10) untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).

Maka pada garis besarnya tujuan kisah Qur’ani ada dua yakni tujuan yang sifatnya spesifik, seperti yang diuraikan oleh Manna al-Qathhan dan Syyaid  Quthub, dan tujuan-tujuan secara umum yakni penggambaran kisah Qur’ani untuk dijadikan  ‘ibrah (pengajaran) bagi pembaca atau pendengarnya apakah berkaitan dengan urusan-urusan keagamaan dalam arti sempit ataukah urusan-urusan keagamaan dalam arti luas yang mencakup ajaran bagi kehidupan dunia dan persiapan menuju akhirat.

E.     Hikmah Edukatif Pengulangan Kisah-kisah  Qur’ani

Pengulangan kisah Qur’ani pada tema sentral yang sama bukanlah dimaksudkan supaya para pendengar atau pembaca hafal isi kisah tetapi lebih jauh dari itu. Pengulangan kisah Qur’ani mempunyai karakteristik tertentu, yakni pengulangan  mempunyai tekanan yang berbeda setiap episode kisah, pengulangan bervariasi dalam gaya dan tujuan kisah sekalipun batang tubuhnya sama sehingga tidak membosankan, dan disampaikan dengan bahasa yang lugas serta dalam kisah memberikan kesempatan untuk mengembangkan pola pikir kreatif.

Lebih jelasnya menurut Sayyid Qutub bahwa konsistensi tujuan kisah adalah demi tujuan-tujuan agamis. Konsistensi ini memberi pengaruh dalam penyajian kisah, bahkan kepada materinya, antara lain: Pertama: Pengaruh konsistensi ini terjadi pada pengulangan kisah dengan beberapa kali pada surat yang bervariasi. Pengulangan ini tidak mencakup seluruh kisah, tetapi pengulangan hanya pada bagian tertentu saja. Batang tubuh kisah utuh tidak diulang kecuali jarang untuk kasus-kasus tertentu. Orang yang membaca dan menelaah kisah Qurani dengan episode-episode yang diulangi dengan mengamati alur secara tepat, baik pemilihan episode yang muncul, ataupun cara pemunculan kisah.  Kedua: Pengaruh konsistensi kisah Qur’ani demi maksud-maksud keagamaan. Pengulangan kisah Qur’ani dapat terjadi pada awal atau akhir dan kadang-kadang keseluruhan kisah. Ketidak seragaman ini disebabkan dimensi sejarah yang bukan dimensi yang paling pokok dari kisah-kisah Qur’ani.

Hikmah edukatif yang terkandung dalam kisah Qur’ani adalah menunjukkan kebalaghahan (kefasihan) Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi, menampakkan kekuatan I’jaz (melemahkan), yang dengannya bahasa al-Qur’an tidak dapat ditandingi dan merupakan kebenaran firman Allah swt, disamping itu dengan adanya pengulangan sebutan adalah untuk ta’kid (penguatan) dan perhatian yang besar seperti keadaan kisah Nabi Musa dengan Firaun.

Menurut Abdurrahman Saleh bahwa pengulangan fakta yang sama lebih dari satu surah Al-Quran tidak sama dengan hanya berupa pengulangan, karena ternyata pengulangan tersebut berkumpul banyak variasi dalam fakta. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan bagi pendidikan.  Pada waktu peserta didik memerlukan pengulangan tentang sebagian pelajaran, maka guru tidak perlu menirukan atau mengulangi lagi dengan cara yang sama persis sebelumnya, karena akan menimbulkan kesan seolah-olah mengabaikan hal baru. Kenyataan menyebutkan, pelajaran yang belum dipahami dalam pertemuan pertama mengisyaratkan perlunya perubahan metode. Pengulangan yang dipadukan dengan ilustrasi-ilustrasi atau hal-hal baru adalah lebih produktif ketimbang hanya pengulangan yang akan membosankan. Untuk mengilustrasikan variasi fakta pengulangan kisah Qur’ani kita lihat umpamanya penolakan Iblis untuk sujud ta’dzim (penghormatan) kepada  Adam yang terulang sebanyak tujuh surat al-Qur’an.

Sikap Iblis yang negatif kepada Adam dikatakan sampai tujuh surat. Tiga surat (Al-Kahfi, Al-A’raf dan Thaha) berbicara tentang penolakan Iblis sujud sebagai sujud ta’dzim  kepada Adam karena kapabilitas keilmuan yang dimiliki Adam, tidak lebih dari itu. Dalam QS. Thaha:116, kata ‘aba (membangkang) juga dijelaskan dengan pengulangan pada QS. Al-Baqarah:34 dan Al-Kahfi:50. Kemudian kata istakbara (menyombongkan diri) dihimpun dalam pernyataan  “aba” tersebut. Dalam empat surat lainnya (Al-A’raf, Bani Israil, Al-Hijr, dan Shad) merupakan alasan Iblis menolak sujud ta’dzim kepada Adam dengan satu variasi pengulangan. Dalam QS. Bani Israil:61 dijelaskan, penolakan sujud itu sehubungan dengan kenyataan, karena Adam diciptakan dari tanah lempung. Dalam Al-Hijr:28 dikatakan bahwa asal usul manusia itu dari tanah kering yang terbuat dari tanah hitam. Dalam QS. Al-A’raf:12 dan Shad: 76, kejadian Adam dari tanah ini dibandingkan kejadian Iblis dari api menjelaskan, bahwa bukti ini sebagai isyarat Adam mempunyai kedudukan lebih rendah ketimbang Iblis. “Kata Iblis: “Aku lebih baik ketimbang dia (Adam).” Karena Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau jadikan dia dari tanah.” (QS. Shad:76).

F. Sasaran-sasaran   Tarbiyah Islamiyah dalam Kisah-kisah Qur’ani

Semua kisah yang terkandung dalam Qur’an bukan sekedar menerangkan umat masa lalu, para nabi dan rasul, tetapi jangkauannya jauh lebih luas, jangkauannya tidak hanya urusan-urusan keakhiratan tetapi juga urusan-urusan keduniaan.  Menurut Muhammad Quthb, bahwa pembaca atau pendengar sebuah kisah tidak dapat tidak bersikap kerjasama dengan jalan kisah dan orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sadar atau tidak, ia telah menggiring dirinya untuk mengikuti jalan cerita, mengkhayalkan bahwa ia berada di pihak ini atau itu, dan sudah menimbang-nimbang posisinya dengan posisi tokoh cerita, yang mengakibatkan ia senang, benci, atau merasa kagum.

Maka sebagai sararan tarbiyah yang dibidik Murabbi (Allah) antara lain:

Pertama: Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah yakni melalui  kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) membidik umat manusia agar selalu memantapkan hati dan jiwa yang penuh  iman (iman letaknya dalam hati), menjaganya dan meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Ruhani manusia agar terus menerus dapat kontak dengan Rabbnya tanpa terputus dengan pergulatan, penderitaan, kenestapaan hidup, kemawahan dunia serta kekejaman dan tipudaya syetan-nafsu birahi.

Kisah yang baik dan cermat tentu digemari dan menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik ‘ibrah yang dijadikan way of life  dalam hidupnya. Dalam kisah terkandung pembangkitkan berbagai perasaaan seperti khauf, ridha, dan cinta; mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah; melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional. Bacalah kisah Ashhab al-Kahfi (QS. Al-Kahfi:9-26), para pemuda tersebut berada di gua selama 309 tahun menurut perhitungan Qomariah atau 300 tahun menurut perhitungan Syamsiah. Para pemuda tersebut keluar dari kampungnya demi menjaga iman mereka sebagai pengikut Isa a.s., agama Kristen. Menurut M. Quraish Shihab bahwa yang memerintah pada tahun 98 – 117 M dan pada sekitar tahun 112 M (pada masa Ashab al-Kahfi) menetapkan bahwa setiap orang yang menolak menyembah dewa-dewa dijatuhi hukuman sebagai pengkhianat.  Para pemuda tersebut termasuk yang monolak mentaati menyembah dewa-dewa, maka sebagai akibatnya mereka harus mengembara ke gua demi mempertahankan iman yang berurat berakar dalam jiwa mereka. Dalam QS. Al-Kahfi:10) disebutkan: (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi:13).

Baca pulalah kisah Nabi Ayyub a.s. misalnya (QS. Shaad:41-44 dan Al-Anbiya’:83-84) yang ruhaninya selalu kontak dengan Rabbnya dan tidak pernah putus dengan dua gelombang kehidupan yang dialaminya. Gelombang pertama ialah dengan bergelimpangan kemewahan hidup,  dengan rezki yang luas, mengepalai keluarga besar dengan rukun dan damai, . Pada gelombang ini Nabi Ayyub s.a.  tetap ruhaninya kontak dengan Rabbnya dengan cara ibadahnya tekun, sayang dan berinfaq kepada pakir miskin, mensyuruki nikmat-nikmat Allah, mengajari orang-orang bodoh, hari-harinya terisi penuh dengan ibadah, sujud kepada Allah, mulutnya berbasah-basah dan tidak pernah berhenti menyebut asma Allah berdzikir, bertasbih dan bertahmid sampai-sampai para malaikat berbincang-bincang di langit untuk memuji sifat-sifat positif  Nabi Ayyub a.s.  sekalipun diberikan ujian kesenangan dunia yang luar biasa. Gelombang kedua berupa ujian Tuhan yang bertubi-tubi ke  Nabi Ayyub a.s.  berupa penderitaan dan jeritan hidup yang sangat dahsyat. Rupa-rupanya pujian-pujian malaikat kepada Nabi Ayyub a.s. di dengar oleh Iblis, dan Iblis minta izin kepada Tuhan untuk menggoda dan mencoba Nabi Ayyub a.s. dan Tuhanpun mengizinkannya. Ringkas kisah, kekayaan yang dimiliki Nabi Ayyub a.s. ludes seketika, gedung-gedung pencakar langit runtuh berserakan, keluarga yang penuh damai dan bahagia telah menemui ajalnya, fisik Nabi Ayyub a.s. menderita kesakitan yang luar biasa yang sampai-sampai orang-orang sekampungnya mengasingkannya kerena takut terjangkit penyakit Nabi Ayyub a.s. dan isterinyapun telah meninggalkannya sekalipun karena diusir oleh Nabi Ayyub a.s. sendiri karena istirinya setengah protes kepada Nabi Ayyub a.s. agar Nabi Ayyub a.s. “memohon kepada Tuhannya untuk dibebaskan dari segala penderitaan dan musibah yang berkepanjangan”.  Namun hati yang dipenuhi iman dan ruhani Ayyub a.s. tetap tanpa tergoda apapun. Diapun berseru, “Allah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali. Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut.” Setelah  ditinggal isterinya yang diusirnya karena mengeluh, maka Nabi Ayyub bermunajat kepada Rabbnya, lalu berucap: “Wahai Tuhanku, aku telah diganggu oleh syaitan dengan kepayahan dan kesusahan serta siksaan, dan Engkaulah wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Allah menerima do’a Nabi Ayyub yang mencapai puncak kesabaran dan keteguhan iman serta berhasil memenangkan perjuangan melawan hasutan dan bujukan Iblis. Allah mewahyukan firman kepadanya: “Hantamkanlah kakimu ke tanah. Dari situ air akan mancur dan dengan air itu engkau akan sembuh dari semua penyakitmu dan akan pulih kembali kesehatan dan kekuatan badanmu jika engkau gunakan untuk minum dan mandimu”.  Nabi Ayyaub a.s. berhasil memenangkan pertarungan hidup baik sewaktu dikalungkan dengan kesenangan hidup maupun sewaktu ditimpa jeritan hidup yang luar biasa itu. Tarbiyah hati yang dipenuhi dengan iman dan ruhiyah yang tidak pernah putus dengan Tuhan sangat terasa pada kisah ini.

Kedua: Tarbiyah ‘Aqliyah-Fikriyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) berkeinginan agar manusia mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh Murabbi dengan mendidik orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiri dalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya sehingga setelah mengikuti alur kisah peserta didik  (pembaca/pendengar) dapat mengambil pengajaran yang bermanfaat.

Kisah Qur’ani memberikan kesempatan mengembangkan pola pikir sehingga terpuaskan, sebagaimana terlukiskan yaitu dengan jalan pengisyaratan, sugesti dan penerapan. Sekiranya tidak memiliki keimanan yang benar, tentu Yusuf tidak sabar mengamali keterasingannya di dalam sumur, tentu pula tidak akan tabah memerangi kekejian serta menjauhi ketergelinciran di dalam rumah isteri Al-Aziz. Dalam kisah Yusuf ini prinsip kebenaran yang dijadikan patokan tokoh kisah dan sekaligus untuk mencintai sifat-sifat tokoh yang mengagumkan itu serta kemenangannya dalam pertarungan antara yang hak dan yang batil berkat kesabarannya dalam waktu yang cukup lama. Untuk pengembangan pola pikir, kisah Qur’ani juga untuk mengajak berpikir dan merenung. Kisah-kisah Qur’ani tidak lepas dari dialog yang mengandung dan mengundang penalaran. Adapun tema pokoknya ialah bahwa yang hak menjadi pihak yang menang. Dalam dialog tersebut, yang menghasilkan kesimpulan, berupa pemantapan kebenaran dan keagungannya. Hal ini akan dapat mempengaruhi dan memperkokoh jiwanya dan berpengaruh pula terhadap jiwa masyarakat pada umumnya, berkat pertolongan Allah terhadapnya. Di dalam kisah Yusuf kita mendapatkan sebuah dialog antara dia dengan dua orang pemuda yang sama-sama menghuni penjara, lalu dia menyeru mereka supaya mentauhidkan Allah.

Nuansa tarbiyah fikriyah lebih terasa jika pembaca atau pendengar merenungkan kisah Ibrahim a.s. ketika ia menemukan Tuhan yang sebenarnya melalu proses berpikir dan perenungan. Dengan pola pikir induktif yang disertai dengan perenungan yang mendalam, Ibrahim akhirnya dapat menyimpulkan siapa sebenarnya Tuhan yang patut disembah itu. Mula-mula Ibrahim (QS. Al-An’am: 75-82) melihat bintang-bintang di malam gelap gulita. Ia berkata “Inilah Tuhanku. Lalu bintang-bintang itu tenggelam menjelang subuh. Ibrahim berpikir sambil merenung dan menyadari kesalahannya, lantas ia berkata, “saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kejadian serupa dialaminya ketika melihat bulan terbit, kemudian tenggelam, melihat matahari terbit, lalu terbenam. Dari berbagai kasus yang dialaminya disertai dengan perenungan dan mengkritisan kejadian pada akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya.

Ketiga: Tarbiyah Khuluqiyah yakni sebuah pelatihan manusia untuk berakhlak mahmudah (mulia) dan memiliki kebiasaan sifat-sifat terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat tertanam kuat dalam diri manusia, yang dengannya ia mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari akhlak madzmumah (tercela).

Kisah Qurani akan dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas serta aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk mengubah prilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan tuntunan, pengarahan dan akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran darinya. Menurut Nahlawi, kisah Qur’ani merupakan  penyentuhan nurani manusia dalam keadaannya yang utuh menyeluruh, sebagaimana terjelma dalam tokoh-tokoh utama yang sengaja ditampilkan al-Qur’an kepada umat manusia. Masing-masing tokoh itu ditampilkan pada pusat perhatian selaras dengan konteksnya. Penampilan pelaku kisah itu disajikan secara sangat mengena, sesuai dengan tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari penyajinya. Al-Qur’an menyajikan penampilan seluruh tokoh ini secara wajar dan objektif, tanpa dicampuri sikap keji atau terangsang untuk berbuat keji dan dosa. Karena tujuan terpenting kisah Qur’ani adalah tarbiyah khulukiyah melalui pelukisan watak manusia secara nyata serta menggugah untuk diresapi dan diteladani.   Dalam QS. Yusuf: 87-111, Nabi Yusuf memberi contoh teladan akhlak mahmudah bagi kemurniaan jiwanya dan keteguhan hatinya tatakala menghadapi godaan Zulaikha, majikannya. Ia diajak berbuat mesum oleh Zulaikha yang masih muda belia, cantik dan berpengaruh, sedang ia sendiri berada dalam puncak birahi kemudaannya, di mana nafsu birahi seseorang masih berada di tingkat puncaknya. Akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dengan menolak ajakan majikannya itu, karena ia takut kepada Allah. Sebagai akibat dari penolakan itu ia rela dipinjarakan demi mempertahankan keluruhran akhlaknya dan  keteguhan imannya. Jiwa kesatriaan juga ditunjukkan oleh Yusuf dengan keengganannya dikeluarkan dari pinjara sebelum persoalannya dengan Zulaikha dijernikan dengan seadil-adilnya. Ia tidak mau dikeluarkan dari pinjara karena memperoleh ampunan dari raja berarti pula benar-benar Yusuf di pihak yang salah, tetapi ia dikeluarkan sebagai seorang yang bersih, suci dan tidak berdosa dan terbebas dari tuduhan-tuduhan dan fitnah  melalui proses pengadilan yang jujur dan terbuka. Hal itu terbukti di pengadilan, bahwa yang bersalah adalah dipihak Zulaikha. Keluhuran akhlak Nabi Yusuf menonjol ketika ia menerima saudara-saudaranya di Mesir untuk memperoleh jatah pembelian gandum dari gudang pemerintah kerajaan Mesir. Nabi Yusuf pada saati itu, sekiranya  ia mau ia dapat melakukan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yang telah melamparkannya ke dalam sumur dan memisahkannya dari ayah tercinta. Namun sebaliknya ia bahkan menerima mereka dengan ramah dan melayani kebutuhan mereka dengan penuh kasihsayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa yang ia alami akibat tindakan saudara-saudaranya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Menurut Nahlawi, kisah yang memikat dan menarik perhatian pembaca; tanpa memakan waktu lama. Kisah seperti ini mengundang  si pembaca untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, serta terkesan oleh watak pribadi pelaku kisah itu. Pada biasanya kisah dalam bentuknya yang paling sempurna dimulai dengan mengemukakan tuntutan, ancaman, peringatan akan bahaya, atau lain sebagainya yang dijalin dalam ikatan cerita.  Menurut Manna’ al-Qaththan pada umumnya manusia suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya, kemudia ia menirukan dan mengisahkannya.

Biasanya kisah Qur’an, identitas pahlawan dalam peristiwa yang terjadi tidak selalu diungkapkan, maka pemujaan kepada suatu pribadi manusia itu bukan merupakan tema sentral. Menurut Abdurrahman Saleh bahwa peristiwa-peristiwa sejarah bangsa-bangsa terdahulu berkaitan dengan tema umum, yakni perjuangan antara yang baik dan yang buruk yang menimbulkan kehancuran bagi bangsa-bangsa terkemudian.

Kisah Qurani ditampilkan dengan penuh makna, tampilannya tidaklah menjauhkan diri dari sifat-sifat manusia, tidak pula membumbung tinggi ke dalam khayali, karena kisah itu disajikan sebagai terapi edukatif bagi manusia. Terapi tepat apabila membentangkan berbagai kelemahan dan kekeliruan tabiat manusia. Kemudian aspek-aspek yang lemah dan keliru dari watak manusia ini ditampilkan sebagai kontras terhadap aspek lain yang sungguh dan agung, sebagaimana direalisasikan oleh para rasul dan kaum muslimin. Keagungan, kebenaran dan kemuliaan ini dituangkan di akhir kisah, setelah melalui berbagai percobaan, kesabaran dan perjuangan. Inilah realisasi terapi yang menggambarkan kemenangan dakwah Ilahiyah dan kerugian bagi kaum musyrikin dan kaum yang tidak benar.

G.    Simpulan

Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman, maka manusia harus selalu mempelajari, meneliti, memperinci sehingga dapat dijadikan norma-norma konkrit dalam mengarahkan prilaku manusia. Agar ajaran Al-Qur’an dapat diserap dan diinternalisasi manusia, maka Tuhan memberi macam cara edukatif yang sesuai dengan fitrah manusia. Salah satunya ialah dengan metode kisah.  Kisan Qur’ani mencakup  keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dalam kisah; setiap kisah Qur’ani menggambarkan suatu keadaan yang mengandung tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya bersifat keagamaan dan  peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara berulang-ulang  sesuai dengan kronologis peristiwa dan aksentuasi tujuan-tujuannya.

Banyak nilai-nilai yang bermakna dan edukatif dari kisah qur’ani, seperti memikat pembaca atau pendengar karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, yang selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan mendalam dalam hati pembaca atau pendengar tersebut; mendidik perasaan keimanan; menyentuh hati karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Kisah yang tertuang dalam Quran membawa pengaruh yang dalam terhadap Tarbiyah Qalbiyah-Ruhiyah-Imaniyah, Tarbiyah Fikriyah dan Tarbiyah Khulukiyah. Karena kisah Qur’ani tersebut merupakan gambaran yang realistis, logis, agung, teologis, bukan kisah khayali, dan bukan pula kisah yang menjijikkan.

Pengulangan kisah Qurani pada subyek yang satu, kisah Adam misalnya adalah banyak variasi dalam fakta. Pengulangan kisah tidak sama tetapi  berbeda dalam episode, substansi materi dan tujuan penggambaran kisah. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan dengan nilai-nilai pendidikan terutama sebagai penguatan dan penambahan wawasan pendengar atau pembaca terhadap alur kisah. Demikan, Wallahu a’lam bishshawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Arifin dan Zainuddian (penterjemah), Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Ahmad Syarbasyi, Qashash al-Qur’an, Kairo: al-Maktaba ash-Saqofiyah, 1962.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992.

Nahlawi an, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Herry Noer Ali (penerjemah), Bandung: Diponegoro, 1989.

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamur Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawwir, 1984.

Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Mahmud Zahron, Qashash min al-Qur’an, Mesir: Dar al-Kutub, 1956.

Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.

Muhammad al-Majub, Nadzariyat Yahliliyat fi al-Qishas al-Qur’an,  Beirut: Muassasah al-Risalah, 1971.

Muhammad Kamil Hasan, Al-Qur’an wa Al-Qashas al-Haditsah, Beirut: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1970.

Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.

Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Salman Harun (penterjemah), Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

Sayyid Quthub, At-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar