Malu adalah sebagian daripada iman
Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita.
Karenanya, terkhusus bagi kaum wanita, mereka diwajibkan untuk mengenakan dua jenis hijab:
Hijab umum yaitu rasa malu dan hijab khusus yang berupa pakaian.
Wanita mana saja yang berhijab dengan hijab khusus tapi menanggalkan hijab umumnya, maka pada hakikatnya dia telah menampakkan perhiasannya dan menanggalkan hijabnya yang sebenarnya.
Karenanya, hijab umum tidak kalah pentingnya dengan hijab khusus.
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.[5][5]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Malu kepada dirinya.
2. Malu kepada manusia.
3. Malu kepada Allah swt.
Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaikan dan pokok dasar yang utama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]
B. Keutamaan Malu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu seluruhnya kebaikan.” (HR. Bukhari & Muslim dari Sahabat ‘Imran bin Husain)
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.”(HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat pemalu, lebih pemalu dari gadis pingitan. Apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)
Sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
(( إنَّ الله حيي سِتِّير يحب الستر والحياء ))
”Sesungguhnya Allah Maha malu dan Maha tertutup, Dia meyukai ketertutupan dan rasa malu.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasaa’i)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
“Malu adalah sebagian daripada iman” (HR Bukhari & Muslim).
Rasa malu bagian dari Iman, setiap kali rasa malu bertambah pada diri seseorang maka bertamblah keimanannya.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu dengan sesama manusia akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.
Rasa malu yang menghalangi seseorang dari tafaqquh fiddin, memahami agama, bukanlah rasa malu yang terpuji. Sebaliknya rasa malu yang semacam ini adalah rasa malu yang tercela.
wallahu'alam
Semoga bermanfaat...
Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita.
Karenanya, terkhusus bagi kaum wanita, mereka diwajibkan untuk mengenakan dua jenis hijab:
Hijab umum yaitu rasa malu dan hijab khusus yang berupa pakaian.
Wanita mana saja yang berhijab dengan hijab khusus tapi menanggalkan hijab umumnya, maka pada hakikatnya dia telah menampakkan perhiasannya dan menanggalkan hijabnya yang sebenarnya.
Karenanya, hijab umum tidak kalah pentingnya dengan hijab khusus.
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.[5][5]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Malu kepada dirinya.
2. Malu kepada manusia.
3. Malu kepada Allah swt.
Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaikan dan pokok dasar yang utama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]
B. Keutamaan Malu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu seluruhnya kebaikan.” (HR. Bukhari & Muslim dari Sahabat ‘Imran bin Husain)
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.”(HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat pemalu, lebih pemalu dari gadis pingitan. Apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)
Sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
(( إنَّ الله حيي سِتِّير يحب الستر والحياء ))
”Sesungguhnya Allah Maha malu dan Maha tertutup, Dia meyukai ketertutupan dan rasa malu.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasaa’i)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
“Malu adalah sebagian daripada iman” (HR Bukhari & Muslim).
Rasa malu bagian dari Iman, setiap kali rasa malu bertambah pada diri seseorang maka bertamblah keimanannya.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu dengan sesama manusia akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.
Rasa malu yang menghalangi seseorang dari tafaqquh fiddin, memahami agama, bukanlah rasa malu yang terpuji. Sebaliknya rasa malu yang semacam ini adalah rasa malu yang tercela.
wallahu'alam
Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar